Senin, 07 Juni 2010

JOB 5

NO NAMA ALAMAT
1 HERI DW CORANTO GLEDEG,RT02/RW03,KARANGANOM
2 AMN GLEDEG,RT02/RW03,KARANGANOM
3 SURYANTO GLEDEG,RT02/RW03,KARANGANOM
4 PARTINI GLEDEG,RT02/RW03,KARANGANOM
5 SUWARNO GLEDEG,RT02/RW03,KARANGANOM
6 TOMO DIHARJO GLEDEG,RT02/RW03,KARANGANOM
7 MUGIYONO GLEDEG,RT02/RW03,KARANGANOM
8 SURYANTO GLEDEG,RT02/RW03,KARANGANOM
9 BURATI GLEDEG,RT01/RW01,KARANGANOM
10 BEJO GLEDEG,RT01/RW01,KARANGANOM
11 PRIBADI GLEDEG,RT01/RW01,KARANGANOM
12 PAKLAN GLEDEG,RT01/RW01,KARANGANOM
13 SUHARNO GLEDEG,RT01/RW01,KARANGANOM
14 JOKO GLEDEG,RT01/RW01,KARANGANOM
15 PARMINI GLEDEG,RT01/RW01,KARANGANOM
16 DIMAS NANANG RIYADI GLEDEG,RT01/RW02,KARANGANOM
17 PURBA HADI KUSUMA GLEDEG,RT01/RW02,KARANGANOM
18 SRIYONO GLEDEG,RT01/RW02,KARANGANOM
19 KHOTIB GLEDEG,RT01/RW02,KARANGANOM
20 DESTI DWI UTAM GLEDEG,RT01/RW02,KARANGANOM
21 FERRY GLEDEG,RT01/RW02,KARANGANOM
22 TOMAS GLEDEG,RT01/RW02,KARANGANOM
23 BAGUS GLEDEG,RT01/RW02,KARANGANOM
24 BOBBY GLEDEG,RT01/RW02,KARANGANOM
25 YUDHA GLEDEG,RT01/RW02,KARANGANOM
26 ISKARYONO GLEDEG,RT01/RW03,KARANGANOM
27 ARIF GLEDEG,RT01/RW03,KARANGANOM
28 NIKO TRI JATMIKO GLEDEG,RT01/RW03,KARANGANOM
29 ERWIN GLEDEG,RT01/RW03,KARANGANOM
30 DANANG GLEDEG,RT01/RW03,KARANGANOM
31 TERA GLEDEG,RT02/RW01,KARANGANOM
32 RINDA GLEDEG,RT02/RW01,KARANGANOM
33 REZA GLEDEG,RT02/RW01,KARANGANOM
34 SULIS GLEDEG,RT02/RW01,KARANGANOM
35 SUPOMO GLEDEG,RT02/RW03,KARANGANOM
36 PAINAH GLEDEG,RT02/RW01,KARANGANOM
37 TUGIMIN GLEDEG,RT02/RW01,KARANGANOM
38 SURIPTO GLEDEG,RT02/RW01,KARANGANOM
39 ERWIN SETIAWAN GLEDEG,RT03/RW01,KARANGANOM
40 SHOLIKIN GLEDEG,RT03/RW01,KARANGANOM
41 ROBBY GLEDEG,RT03/RW01,KARANGANOM
42 BUDI BANARAN,GLEDEG,RT04/RW01,KARANGANOM
43 ALEX BANARAN,GLEDEG,RT04/RW01,KARANGANOM
44 NISA NGEMPLAK,JURANG JERO,RT01/RW01,KARANGANOM
45 WARSONO GAMOLAN,GLEDEG,RT06/RW02,KARANGANOM
46 INDRA BANGKIT SANJAYA GAMOLAN,GLEDEG,RT06/RW02,KARANGANOM
47 EKA PRASETYA GAMOLAN,GLEDEG,RT06/RW02,KARANGANOM
48 BANGUN GAMOLAN,GLEDEG,RT06/RW02,KARANGANOM
49 TONI TRII KUNCORO GAMOLAN,GLEDEG,RT05/RW01,KARANGANOM
50 WINARSIH GAMOLAN,GLEDEG,RT05/RW01,KARANGANOM
51 EKO FEBBY SUSANTO TOMBOL,DALANGAN,RT02/RW03,TULUNG
52 EKO FEBBY SUSANDY TOMBOL,DALANGAN,RT02/RW03,TULUNG
53 ARI WIBOWO GADING,GADING KULON,RT01,RW03,JATINOM
54 DEV SASONGKO JUNKARE,RT01,RW02,KARANGANOM
55 JATI MURTONO PADAS,,RT01,RW01,JATINOM
56 SISWADI KUNDEN,RT01,RW02,KARANGANOM
57 SIDIQ NUR ROHMAN BRANGKAL,GALAROOM,RT02,RW01,KARANGANOM
58 JUMADI BRANGKAL,GALAROOM,RT02,RW01,KARANGANOM
59 ARIYADI PUTAT,PONDOK,RT01,RW02,KARANGANOM
60 WALIMAN GLEDEG,RT02/RT03,KARANGANOM
61 MUHAMMAD HAFIZ RIDLO GLAGAH,RT01,RW02,JATNOM
62 MUHAMMAD WAHYU EKO IRIYANTO MAO,JOLOTUNDO,RT01,RW02,JATINOM
63 DIAZ FEBRY TR ANGGORO PABELAN,SAWAHAN,RT01,RW02,JATINOM
64 WAHYU SHOLKIN PLEMBANGAN,RT02,RW01,JATINOM
65 WAKHD MAULANA PLEMBANGAN,RT02,RW01,JATINOM
66 WAKHID BUDI SANTOSO TANGKILAN,RT01,RW01,JATINOM
67 EDI SARWONO PANDANAN,SOROPATEN,RT02,RW01,JATINOM
68 FAJAR SUPRAPTO NGLUMBANG BESARAN,SOROPATEN,RT01,RW02,JATINOM
69 FERRY ARIYANTO MBANTULAN,MBANTULAN,RT02,RW03,KARANGANOM
70 HERI TRI ARIYANTO MBANTULAN,MBANTULAN,RT02,RW03,KARANGANOM
71 HERI SETIAWAN BRANGKAL,GALAROOM,RT02,RW01,KARANGANOM
72 YATIN RAGIL SANTOSO MBUNGKUSAN,RTO1,RWO2,KARANGANOM
73 SURADI NGRAGAN,SEMEN SARI,RT02,RW02,KARAGANOM
74 SURYADI POMAH,RT01,RW02,JATINOM
75 SISWANTO POMAH,RT01,RW02,JATINOM
76 ALDINO FITRIYANTO GLEDEG,RT02,RW03,KARAGANOM
77 BRILAN HARSITO NGANJAT,PONGGOK,RT01,RW03,POLANHARJO
78 DIAN BANARAN,GLEDEG,RT04/RW01,KARANGANOM
79 ARUM BANARAN,GLEDEG,RT04/RW01,KARANGANOM
80 DESI BANARAN,GLEDEG,RT04/RW01,KARANGANOM
81 DEWI SETYOWATI PUTAT,PONDOK,RT01,RW02,KARANGANOM
82 LINA SOROPATEN,RT01,RW02,JATINOM
83 JOKO NGAWINAN,JURANG JERO,RT01,RW02,KARANGANOM
84 TRIYANTO AGUNG WIBOWO KARANGPOH,RT01,RW02,JATINOM
85 ARI SUSANTO NJEMUSAN,PULUHAN,RT01,RW02,JATINOM
86 ANDRI SUSANTO GONO,RT01,RW03,KARANGANOM
87 CANDRA KWAGEAN,RT01,RW02,KARANGANOM
88 MARIYADI GLEDEG,RTO2/RW03,KARANGANOM
89 MURYANI GAMOLAN,GLEDEG,RT06/RW02,KARANGANOM
90 ANIS GAMOLAN,GLEDEG,RT05/RW02,KARANGANOM
91 ASTRIT GAMOLAN,GLEDEG,RT05/RW02,KARANGANOM
92 WAHYUDI GAMOLAN,GLEDEG,RT06/RW02,KARANGANOM
93 SUKRIYONO GLEDEG,RT02/RW03,KARANGANOM
94 RESO WIREJO GLEDEG,RT02/RW03,KARANGANOM
95 WARSINI CANGKRINGAN,RT01,RW03,KARANGANOM
96 SRI WAHYUNIGSIH GLEDEG,RT01/RW02,KARANGANOM
97 MARNOWO JAYAN,PUTAT,RT03/RW02,KARANGANOM
98 TUMINAH GLEDEG,RT03/RW01,KARANGANOM
99 NUROHMAN GLEDEG,RT02/RW01,KARANGANOM
100 JEPRI TANUS SAPUTRO GLEDEG,RT02/RW01,KARANGANOM

Senin, 24 Mei 2010

KEMELUT INI HARUS DIPECAHKAN DENGAN KEJUJURAN DAN KEADILAN

Semoga kita mencintai NKRI ini dan terbuka hati dan pikirannya supaya soal yang sebenarnya mampu diselesaikan dan kita semua kembali tenang dan bersyukur bahwa bangsa Indonesia bisa menyelesaikan persoalannya sendiri. Insya allah.

I. Soal DPT

Semua yang memilih tahun 2009 rata-rata ikut memilih pada tahun 2004 dan PilGub atau Pilkada disetiap daerahnya pada Era 2004 s/d 2009. Oleh karenanya yang belum tentu ada di DPT adalah pemilih pemula dan pemilih yang pindah rumah sehingga belum terdaftar serta yang hilang adalah pemilih yang sudah meninggal dunia. Maksudnya pemilih yang telah memilih pada pemilihan tahun sebelumnya tidak ada alasan tidak masuk DPT.

Yang menjadi persoalan sekarang pemilih yang sudah milih sebelumnya menjadi tidak ada dan jika berdasarkan pengamatan cukup meluas tetapi satu nama yang ada bisa menjadi jumlahnya banyak, yang sudah meninggal muncul kembali dan anak anak ikut milih dll, dibeberapa tempat ada rekayasa dalam DPT padahal KPU seakan akan hanya mendapatkan datanya dari Dinas Kependudukan ( Pemerintah). Jika seperti ini persoalannya bukan Indonesia tidak punya single identitas alasannya, pemilu 1999 yang seharusnya kacau balau tetapi tidak seamburadul saat ini dalam soal DPT apalagi dibandingkan dengan pemilu 2004, pilpres 2004, pilkada dan pilgub? (coba dech cermati yang disampaikan effendi Ghazali dalam soal penggelembungan dan penghilangan daftar pemilih).

Kita sebaiknya jangan mudah dilempar kesana kemari dalam soal substansi kekacauan ini, oleh karenanya saat ini harus jujur terbuka dalam soal ini dan ini bukan soal memperbaiki data tetapi esensi dibalik itu semua. Harus ada yang bertanggung jawab dan ditindak tegas. Kalau tidak sampai kapanpun ini bisa dimainkan dan berbahaya.

II. Suara Rakyat Itu Suara Tuhan

Satu suara rakyat tidak bisa diabaikan apalagi kalau ratusan, ribuan bahkan jutaan (masih perlu diinvestagasi lagi jika dalam jumlah jutaan). Saat ini seakan-akan semuanya tidak berarti dan selalu dicari alasannya sehingga persoalan kehilangan suara itu menjadi sesuatu yang hanya bermuara pada soal administrasi dan melupakan bahwa sebenarnya disitulah letak kedaulatan rakyat yang paling langsung dan nyata berpengaruh. (jika rakyat memilih dan tidak memilih akan berdampak langsung terhadap kepemimpinan dinegeri ini). Coba bayangkan menyediakan hak rakyat yang paling mudah kaya begini saja tidak bisa apalagi menyediakan hak rakyat terhadap pendidikan, kesehatan dan pangan yang lebih rumit. Artinya negara dalam bahaya jika kejadian seperti ini dibiarkan.

Kemudian saat ini adalah dimana setiap caleg sangat berusaha dan memang sesuai peraturan dimana caleg yang mendapatkan suara terbanyaklah yang akan masuk menjadi anggota Dewan yang terhormat. Ketika ternyata pemilihnya tidak ada di DPT dan surat suaranya tertukar lalu disahkah KPU sebagai suara partai. Pertanyaannya bagaimana dengan keputusan MK yang mensahkan suara terbanyak bagi calon anggota Dewan? Apakah percetakan dan Tim yang bekerja di KPUD atau di kecamatan yang akan disalahkan KPU? Ini tidak benar dan tidak adil serta sangat menafikan nasib saudara saudara kita yang telah berniat baik dan berkorban, apakah mereka akan dikorbankan?

Kita tidak baik dan mentertawakan saudara-saudara kita yang bisa saja telah berusaha keras dan berkorban tetapi gagal, apalagi ketika melihat pemilihannya seperti ini. Walaupun saya sampaikan bahwa yang kalah sekarang jika berniat baik Insya Allah, akan diganti dengan kebaikan yang melimpah dari Sang Pencipta alam, semoga sabar dan tawakal. Hanya jika para pemimpin KPU dengan mudah hanya melempar tanggung jawab dan kesalahan kepada pihak lain, dimana letak kemanusiaannya dan kepemimpinannya, ketika dengan mudah melepas tanggung jawab ini?

Soal nantinya ada yang tetap tidak terpilih kemudian sakit bahkan meninggal dunia, kita hanya bisa mendoakan semoga mendapatkan kebaikan di alam sana tetapi jika semua dilakukan dengan enteng dan tanpa dosa, bagaimana semua ini bisa terjadi?.

III. Negeri Ini Sepertinya Aman Tetapi Sering Tiba-tiba Muncul Bencana ......Kenapa?

Tragedi Situ Gintung telah diusahakan tidak terjadi oleh penduduk sekitarnya dengan cara bolak balik rapat dan membuat proposal serta berusaha kesana kemari supaya tanggulnya diperbaiki termasuk pintu airnya, itu yang saya dengan di sebuah radio swasta nasional. Hanya tidak ditanggapi walaupun itu sudah diajukan setahun yang lalu malahan kesannya para pejabat setempat kesannya saling lempar tanggung jawab ketika ditanya kenapa persoalan tersebut tidak ditindaklanjuti. Hasilnya tragedi tersebut selain sangat memilukan juga menelan korban 100 orang dan masih banyak yang hilang. Saat ini akibat tragedi tersebut sedang dicoba untuk dipulihkan. Hanya masih terdengar suara yang mengatakan bahwa yang penting jangan terjadi lagi dan kita harus mengambil hikmahnya. Sementara seakan akan tidak perlu ada yang bertanggung jawab karena tidak jelas tanggung jawab pemnerintah daerah atau pemerintah pusat?.

Belum kering air mata bangsa Indonesia akibat terjadinya tragedi Situ Gintung lalu di Bandung terjadi tragedi kembali dimana pesawat militer angkatan Udara republik Indonesia menabrak hanggar dan gugur prajurit terbaik Indonesia sebanyak 24 orang. Dan kejadiannya Pukul 12.58: Pesawat diduga tersambar petir dan jatuh menimpa hanggar PT Dirgantara Indonesia dan meledak. KSAU: Jangan Kaitkan Usia Pesawat dengan Kelaikan Terbang.

Selasa, 7 April 2009 | 21:36 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Subandrio, Selasa (7/4), menegaskan, tidak ada masalah dengan kelaikan pesawat angkut personel jenis Fokker-27 Troopship/A-2703, yang jatuh menimpa hanggar pesawat milik PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Jawa Barat, hingga menewaskan 24 penumpangnya, Senin kemarin.

Subandrio juga meminta banyak pihak tidak perlu mempermasalahkan atau mencoba mengaitkan usia atau tahun produksi pesawat dengan kelaikan terbangnya. Menurut dia, selama perawatan dilakukan dengan baik dan pesawat dinyatakan laik terbang, usia pesawat tidak perlu dipermasalahkan.

Tentara Republik indonesia pasti merawat senjatanya dan pasti menjaganya, ini pasti. Hanya jika pesawatnya sudah diganti dengan yang baru dan lebih canggih, apa tidak lebih aman. Alasannya masih dipakainya pesawat ini pasti bukan dari KSAU, panglima bahkan Presidennya yang militernya karena sangat mengerti urgensi sebagai tentara nasional, tetapi sangat mungkin ada pihak yang tidak tahu medannya pertempuran sehingga bilang, bapak bapak , mohon maaf negara republik Indonesia sedang tidak punya uang sehingga kalaupun pesawatnya memang laik terbang dan jika ada dananya pasti dirawat dengan benar tetapi kenyatannya celaka, dan bisa jadi jika pesawat baru, laik terbang dan dirawat kemungkinan akan lebih aman dan layak serta siap untuk operasi militer. Setelah kejadian, maka diungkapkan supaya jangan terulang lagi dan belum terdengar bahwa pesawat dan kapal laut angkatan perang republik Indonesia akan segera diperbaharui mengingat alam saat ini sudah berubah menjadi tidak lebih ramah, apakah benar jika kita hanya disuruh mengambil hikmahnya saja?

Kejadian ini termasuk penyelesaian kasus BLBI, DCA yang ditolak Singapura dan termasuk meninggalnya David mahasiswa jenius asal Indonesia di sana. Apakah kita hanya akan belajar dari kejadian itu dan disuruh mengambil hikmahnya?.

Jangan salahkan siapa siapa dulu karena Semua itu jika dilihat persoalannya maka ujung pangkalnya adalah hancurnya tata kelola dan ketatanegaraan di republik Indonesia. UU yang dibuat di republik Indonesia saat ini termasuk perda seringkali malahan menjadi menjerat leher kita sendiri sehingga tidak bisa melakukan apa apa walaupun di negara sendiri artinya kedaulatan kita sebagai bangsa telah direbut. Dan kata kata ini juga termasuk soal TPS tutup harus jam 12 siang sehingga TPS kalang kabut, pengaduan proses hanya boleh 3 x 24 jam padahal sangat tidak memungkinkan jika ingin mengadopsi kesalahan yang sebenarnya termasuk soal kisruh DPT, semuanya ada di UU-nya. Semoga informasi yang saya dapat tepat.

Nach dari seluruh persoalan ini marilah kita mulai menyelesaikan proses semerawutnya persoalan negeri ini dengan mendorong KPU supaya terbuka dan jujur serta kita tidak hanya sekedar mengambil hikmah dan belajar dari persoalan yang sudah berlalu tetapi harus ada yang bertanggung jawab. Setelahnya kita memperbaiki supaya kekacauan dinegeri ini tidak terjadi lagi atau kita memperkecilnya. Sebastian Salang sekjen Formapi ketika satu forum kebetulan sama sama menjadi nara sumber mengatakan sungguh disayangkan jika DPR yang punya kewenangan membuat UU tetapi kesan yang kuat adalah UU yang dibuat adalah sebuah pesanan yang kadang kadang malahan merepotkan republik Indonesia?.

Ini barangkali soal yang harus kita coba tuntaskan sehingga dengan proses ala Indonesia bangsa kita dapat terus melanjutkan perjalanan sejarahnya.

IV. Penutup

Sungguh aneh jika persoalan kisruh pemilu ini menjadi sangat strategis?. Coba bayangkan jika anggota partai yang masuk anggota dewan apakah di daerah atau di senayan merasa bahwa tidak yakin dengan kemenangannya akibat kisruhnya seperti ini. Mereka akan dimanfaatkan berbagai pihak yang mengclaim bahwa kelompok merekalah yang menjaga dan menghantar anggota dewan tersebut sehingga menjadi anggota dewan yang terhormat, apakah ini bukannya yang dinamakan pemerasan politik dan yang pasti jarahannya tidak mutlak uang, buat teman teman dan sekeliling bisa bisa jadi uang tetapi buat yang gentayangan itu mereka bisa meminta meloloskan uu lagi dan ini lebih berbahaya. Sekarang kondisi contohnya.

Begitu juga bagi yang kalah , ia merasa dicurangi partai lainnya padahal persoalan sebenarnya bisa saja hanya persoalan tim suksesnya yang tidak jujur, nyopet atau tidak kerja sehingga menyalahkan pihak lain dan ini juga berbahaya bagi pihak lain termasuk dirinya sendiri, jadi frustasi padahal salah tim nya sendiri.,

Dan semua itu tidak akan menjadi soal pelik seperti saat ini jika pemilu legistative tidak kisruh akibat Kpu yang terlalu percaya diri dan tutup telinga serta tidak mau memberikan kondisi yang sebenarnya. Disinilah letak persoalan kenapa KPU harus bertanggung jawab. Jika tidak maka berbahaya, karena tidak ada yang bertanggung jawab, kita hanya diminta mengambil hikmah dan nanti diperbaikinya. Padahal kenyatannya tidak perbaiki dan tetap tidak ada yang bertanggung jawab lalu apa gunanya hikmah itu karena kita tidak belajar dan memperbaikinya, seperti kasus kasus sebelumnya ?

Semoga kita mencintai NKRI ini dan terbuka hati dan pikirannya supaya soal yang sebenarnya mampu diselesaikan dan kita semua kembali tenang dan bersyukur bahwa bangsa Indonesia bisa menyelesaikan persoalannya sendiri. Insya allah.

Sehingga jangan marah apalagi maen ngamuk serta frustasi, jalan terus dan bersabar semoga dengan ketawakalan itu bangsa Indonesia selamat dari cobaan ini.


KEMELUT PERUBAHAN SISTEM PEMILIHAN GUBERNUR DI INDONESIA

Rabu, 06 Januari 2010

Kemelut Perubahan Sistim Pemilihan Gubernur di Indonesia (Suatu tinjauan demokrasi dan Otonomi Daerah)

Kemelut Perubahan Sistim Pemilihan Gubernur di Indonesia
(Suatu tinjauan demokrasi dan Otonomi Daerah)

Warga Negara dalam hal ini rakyat berhak untuk melakukan proses politik dan keputusan-keputusan politik baik nasional ataupun local sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan kedaulatan rakyat. Artinya dalam setiap anggota masyarakat memiliki hak yang sama untuk melakukan aktifitas yang berhubungan dengan negara. Untuk itu warga Negara juga mendapat hak yang sama dalam melakukan aktifitas-aktifitas politik dan keputusan politik.
Keputusan politik warganegara yang paling kentara adalah pada saat pemilihan umum, selanjutnya, menurut ketentuan individu-individu dalam masyarakat juga dapat dipilih. Dalam memilih dan dipilih masyarakat memiliki hak kebebasan dalam ikatan kebersamaan.
Dalam pemilu, apakah legislatif ataupun eksekutif pusat dan atau daerah, rakyat dapat menggunakan haknya atau suaranya untuk memilih calon yang dianggap dapat mewakili aspirasinya dalam mempengaruhi keputusan politik. Agregasi kepentingan masyarakat pada pemilu legislative diwakili oleh partai politik dengan system suara terbanyak atau mayoritas.
Esensi dari kehidupan berdemokrasi adalah persamaan dan kebebasan. Persamaan dalam hukum dan kebebasan dalam hak memilih atau dipilih. Melalui pemilihan langsung, rakyat dihadapkan langsung untuk melakukan keputusan politik untuk memilih calon pemimpin yang diinginkannya secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Selain unsure kebebasan di dalamnya juga mengandung unsure persamaan hak di depan hukum baik diantara pemilih maupun dengan yang dipilih.
Lebih jauh the founding fathers Dr. Moh. Hatta wakil presiden RI pertama menekankan hakikat otonomi daerah pada esensi demokrasi dan kemandirian masyarakat, yang menyatakan :
“..memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya auto-aktiveit. Auto-aktiveit artinya bertindak sendiri, melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri. Dengan berkembangnya auto-aktiveit tercapailah apa yang demaksud demokrasi, y.i. pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat..”(LAN, Jakarta 1996)

Oleh karenanya warga Negara yang terdiri dari berbagai elemen atau unsur-unsur sebuah Negara memiliki persamaan sederajat dengan masyarakat yang lainnya dalam kehidupan berpolitik. Selanjutnya masyarakat juga memiliki kepentingan-kepentingan pembawaannya yang dalam sistim politik terwakili oleh partai politik sebagai salah satu struktur politik dalam kehidupan berdemokrasi, selanjutnya disebut konstituen.
Banyak persoalan yang terjadi pada periode UU Nomor 5 Tahun 1974. Pasca perubahan format pemerintahan daerah dengan UU nomor 22 Tahun 1999 mengakhiri pengaruh pemerintah pusat yang dominan. Namun pemilihan kepala daerah oleh DPRD Provinsi membawa implikasi persoalan cukup serius baik pada tingkat elit maupun masyarakat local, seperti money politic antara calon kepala daerah dan DPRD, lobi-lobi politik yang jauh dari pantauan masyarakat sebagai social control, sampai kontroversi calon terpilih yang tidak memiliki kapasitas untuk memimpin daerah, tidak popular dan tidak dapat diterima oleh masyarakat banyak. Hal ini akan bermuara pada ketidak perdulian masyarakat sebagai elemen utama pembangunan yang mengawasi jalannya proses pembangunan dan pemerintahan di daerah.
Sampai tahap ini melahirkan apa yang disebut Strong Legislative, dimana Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD Provinsi, membawa persoalan lain dalam pemerintahan di daerah, seperti terhambatnya proses pemerintahan, kinerja pelayanan yang rendah dan pembangunan yang terhambat di daerah. Dengan kata lain gubernur tidak memiliki wewenang utuh dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan di daerahnya. Hal ini lah yang membawa pada keinginan utuk merevisi terbatas UU 22 Tahun 99 menjadi UU 34 Tahun 2004 yang mengamanatkan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat di suatu daerah.
Sehubungan dengan pemilihan kepala daerah, Andi Ramses (2003) menyatakan :
….”Demokratisasi pada tingkat nasional hanya mungkin terbangun jika demokrasi juga berlangsung pada tingkat local (Robert Dhal, 1989). Tanpa pemberdayaan local, maka kerangka demokrasi pada tingkat nasional akan rapuh. Dalam proses ini perlu pembelajaran politik yang efektif yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi, seingga masyarakat local benar-benar mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan tentang berbagai hal menyangkut kepentingan dan kehidupan mereka”…

Pada perkembangannya ada keinginan pemerintah untuk merubah ketentuan tersebut dengan pemilihan gubernur oleh anggota legislative provinsi. Dengan argument bahwa pemilihan gubernur langsung memakan biaya yang terlalu besar dan membuat masyarakat menjadi terkotak-kotak. Argument lain yang dibangun adalah Gubernur merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat, dan hanya menjalankan tugas-tugas administrative, selain itu, mayoritas rakyat Indonesia masih “bodoh”, tidak dapat menentukan pilihannya dengan tepat, sehingga memungkinkan terjadinya “terror” politik.
Berdasarkan penjelasan di atas, sistim pemilihan gubernur harus dapat menjawab pertanyaan mendasar sebagai berikut:
1. Apakah pemilihan gubernur oleh DPRD Provinsi sesuai dengan esensi demokrasi?
2. Apakah pemilihan gubernur oleh DPRD Provinsi telah sesuai dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah?

Pemilihan Gubernur Sebagai Wujud Demokrasi Di Daerah
Filsuf berpengaruh Ariestoteles (384-322 SM) jauh-jauh hari telah mengisyaratkan keputusan warganegara mayoritas untuk berpartisipasi langsung dalam memilih calon pemimpinnya jauh lebih baik dibanding sejumlah orang tertentu (DPR/DPRD) :
….”Orang secara individual rentan dikuasai oleh kemurkaan atau perasaan-perasaan lain, dan karenanya penilaiannya cenderung tidak sempurna. Namun agak sulit memperkirakan bahwa manusia dalam jumlah besar akan terjerumus dalam suatu perasaan tertentu dan berbuat kesalahan pada saat yang sama”….

Pemlihan kepada daerah atau gubernur provinsi secara tidak langsung oleh DPRD dipandang tepat pada masa lalu karena paralel dengan pemilihan presiden oleh MPR. Pada era sentralisasi, pemerintah pusat memiliki pengaruh kuat dalam mempengaruhi terpilihnya gubernur disuatu provinsi, DPRD setempat hanya melegitimasi calon yang telah dipesan. Dan ini menimbulkan banyak konflik pemilihan kepala daerah. Issu tentang disintegrasi bangsa pada waktu itu sangat hangat.
Fakta menunjukkan bahwa partai politik di Indonesia saat ini tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik, dimana agregasi kepentingan dan akulturasi kepentingan dalam sistim politik tidak tersalurkan, terjadi penyumpatan. Banyak kebijakan-kebijakan yang dihasilkan bertentangan dengan kepentingan masyarakat luas.
Orang secara individual rentan dikuasai oleh kesewenangan atau hasrat-hasrat lain, karenanya penilaiannya cenderung bermasalah. Namun warga Negara dalam jumlah besar agak sulit akan terjerumus berbuat kesalahan dan hasrat-hasrat lain. Adalah mayoritas yang baik bisa bertanya mana yang tahan terhadap kemungkinan korupsi, apakah seorang pemimpin yang baik atau orang baik dalam jumlah yang banyak?
Partai politik melalui anggota DPRD cenderung dekat dengan kekuasaan dan sangat rentan terjadinya penggiringan kepentingan, sehingga bukan saja bertentangan dengan keinginan pemilih tetapi memungkinkan tejadinya bargaining politik yang mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan pribadi dan kelompok. Satu hal disini apakah prinsip keterwakilan melalui anggota DPRD yang terpilih dan memilih itu telah mewakili suara mayoritas masyarakat?.
Implikasinya adalah, pemberdayaan potensi local tidak paralel dengan perkembangan demokrasi di daerah. Masyarakat akan merubah kembali pemikirannya (main set) tentang pemilihan gubernur cukup diwakili oleh anggota DPRD Provinsi. Hal ini akan membentuk opini keragu-raguan terhadap gubernur terpilih, karena masyarakat tidak merasa memilih langsung calonnya, dan si calon terpilih tidak memiliki rasa bertanggung jawab langsung kepada masyarakatnya.
Hal lain, masyarakat mulai terbiasa dengan model pemilihan langsung, karena telah beberapa kali dilakukan baik pemilu local ataupun nasional dan merasa telah menyalurkan aspirasinya sesuai dengan keputusannya sendiri. Walaupun pada akhirnya pilihannya tidak terpilih, tapi ada rasa kepuasan, dan untuk yang tepilih dapat manjadi umpan balik baginya untuk mengevaluasi hasil pilihannya.
Proses pendewasaan ini terus tumbuh, ada proses pembelajaran disini, walaupun praktik-praktik money politik masih mewarnai dalam mempengaruhi keputusan individu untuk memilih calon tertentu, namun dengan sendirinya masyarakat akan mengalami pendewasan dan pematangan dalam kehidupan berdemokrasi secara utuh.
Memang ongkos yang dikeluarkan untuk mengadakan pesta demokrasi tidak sedikit. Pada titik ini, jika ingin berhitung terhadap ongkos yang telah dan akan dikeluarkan, maka Negara Indonesia akan mengalami kerugian besar. Tak terbayang berapa Rupiah yang telah dikeluarkan demi pematangan demokrasi di negeri ini. Belum lagi kerugian non material, social dan bahkan nyawa yang telah dikorbankan demi tegaknya demokrasi Negara Indonesia yang lebih baik.
Yang lebih miris, kita tak tahu kapan akan kembali lagi kepemilihan gubernur langsung jika wacana pemilihan gubernur oleh DPRD provinsi terlaksana, karena merubah aturan hukum tidak semudah yang dibayangkan. Artinya Bangsa Indonesia kembali menjadi bangsa yang terbelakang dalam berdemokrasi. Selanjutnya, model pemilihan ini sudah pernah dijalankan, kasus berlarutnya pemilihan Gubernur Provinsi Lampung tahun 2004 membawa polimik berkepanjangan dan perpecahan dimasyarakat, sehingga masyarakat Lampung terkorbankan.
Wahyudi Kumorotomo (1996) menegaskan pentingnya partisipasi dan aspirasi warga Negara sebagai hak asasi dalam pembangunan politik :
”Bukan rahasia lagi bahwa di Negara kita ini pertimbangan pertimbangan ekonomis, stabilitas dan security sering mengalahkan pertimbangan-pertimbangan mengenai aspirasi dan hak asasi mereka sebagai warga Negara. Pembangunan politis dalam banyak hal telah disubordinasi oleh pembangunan ekonomis maupun kebijakan-kebijakan pragmatis tertentu”…

Pemilihan Gubernur Dalam Semangat Otonomi Daerah
Proses kehidupan berdemokrasi telah lama dibangun. Paska reformasi 1998, tuntutan untuk melaksanakan Negara yang demokratis terus digulirkan. Melahirkan UU nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, menggantikan UU nomor 22 tahun 2009 tentang Pemerintahan Daerah dan UU nomor 25tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah
Pasal 24 ayat (2),(3) dan (5) UU nomor 34 tahun 2009 mengamanatkan : “kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud ayat (2) dan (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Serentetan alur perkembangan dan pematangan berdemokrasi kurun waktu 10 tahun terakhir akan dirusak dengan mengubah aturan mengenai pemilihan gubernur.
Desentralisasi kepada daerah otonom mensyaratkan adanya penyerahan wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri. Hal ini tidak hanya menuntuk pelimpahan wewenang, tapi juga menuntut pelimpahan administrasi dan pelimpahan fiskal (desentralisasi fiscal) pada suatu daerah otonom. Artinya ketiga kewenangan itu tidak dapat dipisahkan.
Walaupun gubernur sebagai wakil pemerintah atau perpanjangan pemerintah pusat di daerah melalui pelimpahan wewenang dekonsentrasi, namun pemerintahan provinsi adalah bagian dari pemerintahan daerah itu sendiri yang memiliki tugas dan wewenang menjalankan pemerintahan di daerah dengan otonomi seluas-luasnya dalam skala Provinsi.
Douglas McGregor ia menyimpulkan bahwa :
“People tend to grow and develop more rapidly and they are motivated more effectively if decision making are decentralistic”.

Dikatakan bahwa desentralisasi dan otonomi daerah tidak hanya dapat memperbaiki kualitas dari keputusan yang diambil, tetapi juga akan memperbaiki kualitas pengambil keputusan itu sendiri, dalam hal ini keputusan politik masarakat local.
Pemilihan kepala daerah secara langsung adalah pembelajaran politik dalam upaya memperkuat sistim local dan otonomi daerah sebagai proses demokratisasi. Selanjutnya pemilihan gubernur langsung juga sebagai proses pemberdayaan masyarakat di daerah melalui partisipasi public dalam melakukan keputusan politik menyangkut kepentingan dan kehidupan mereka, sehingga gubernur yang terpilih juga mendapat legitimasi yang cukup kuat dimasyarakat, karena prosesnya dilakukan secara langsung oleh masyarakat.
Pemilihan gubernur secara langsung memberikan ruang terciptanya semangat otonomi daerah berdasarkan nilai-nilai demokrasi dan kesadaran politik local (Conscientization) untuk terlibat lebih jauh dalam realitas social politik yang ada. Dalam konteks ini kedaulatan rakyat menjadi lebih mudah dipahami dan diimplementasikan dalam semangat otonomi daerah.
Sehubungan dengan pemilihan kepala daerah, Andi Ramses (2003) dalam “Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung” menyatakan :
….”Demokratisasi pada tingkat nasional hanya mungkin terbangun jika demokrasi juga berlangsung pada tingkat local (Robert Dhal, 1989). Tanpa pemberdayaan local, maka kerangka demokrasi pada tingkat nasional akan rapuh. Dalam proses ini perlu pembelajaran politik yang efektif yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi, seingga masyarakat local benar-benar mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan tentang berbagai hal menyangkut kepentingan dan kehidupan mereka”…

Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung
Pemilihan Gubernur langsung merupakan proses pembelajaran demokrasi yang menekankan pada pemberdayaan masyarakat local sebagai upaya dari pembangunan mayarakat yang bebas dan bermartabat.
Menurut United Nation Center For Regional Development (UNCRD, 1985) bahwa model pembangunan yang lebih desentralistik salah satunya yang paling utama adalah pembangunan manusia, dimana :
“kehendak, komitmen, dan kemampuan manusia sebagai anggota masyarakat merupakan sumber pembangunan yang strategis”. “Pembangunan masyarakat menyangkut suatu upaya terencana untuk meningkatkan kemampuan dan potensialitas anggota masyarakat dan memobilisasikan antusiasme mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka, pembangunan masyarakat.
…dengan demikian merupakan upaya “….to promote the empowerment of people, instead of perpetuating the depency creating relationship so characteristic of top-down approach” (Hollnsteiner, 1985)

Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan akses mendekatkan diri kepada masyarakat, memberdayakan segenap potensi local, membaiknya proses pelayanan public. Tak dapat dipungkiri pemilihan kepala daerah langsung yang selama ini telah dilaksanakan juga memiliki berbagai persoalan dan kelemahan yang harus terus diperbaiki.
Berbagai persoalan dan kontroversi terus mewarnai pemilihan kepala daerah langsung yang telah dilaksanakan belakangan ini. Ke depan, itu diperlukan langkah-langkah strategis demi perbaikan sistim pemilihan kepala daerah langsung dan meningkatkan kualitas kepala daerah terpilih. Berkaitan dengan ini hal-hal yang harus dipertimbangkan adalah:
Pertama, pemilihan kepala daerah harus dilaksanakan secara demokratis, yang memberikan peluang kepada calon kepala daerah untuk berkompetisi secara fair dan peningkatkan partisipasi public dalam proses pemilihan. Untuk itu diperlukan aturan pemilihan kepala daerah yang sesuai dengan semangat demokrasi. Pemilihan kepala daerah harus bebas dari segala bentuk kecurangan yang melibatkan penyelenggara, mulai dari proses pencalonan, kampanye, sampai dengan pemungutan dan penghitungan suara pada berbagai tingkatan.
Kedua, pilkada langsung harus didasari prinsip efisiensi dan akuntabilitas. Hal ini menyangkut sistim, personal, alat dan aturan berlaku harus dapat diarahkan untuk proses pilkada gubernur dengan ongkos se-efisien dan seoptimal mungkin. Tahap-tahapan pemilihan tidak rumit atau sederhana dan mudah dimengerti masyarakat. Selain itu tahap-tahapan pelaksanaan pilkada dilakukan secara terbuka dan transparan.
Ketiga, sosialisasi peraturan dan aturan main pilkada gubernur secara intensif harus dilaksanakan kurun waktu tiga sampai enam bulan sebelum pemilihan, tidak ada perubahan aturan pemilihan dalam periode tersebut, dan tidak hanya urusan KPUD. Untuk itu diperlukan upaya semua pihak dan elemen masyarakat untuk mensuksesannya. Disini diperlukan suatu komunikasi politik dan pendidikan politik antara supra dan infrastur politik secara berkesinambungan dan objektif.
Keempat, lembaga-lembaga Pemilihan Umum Daerah seperti KPUD dan Panwaslu harus kredibel, professional, independent dan bertanggung jawab. Untuk itu perlu mendesain ulang proses rekruitmen, proses pengawasan, penyelesaian sengketa, perselisihan, dan pelanggaran pemilu. Untuk pelanggaran yang mengandung unsure pidana kiranya dapat dibentuk peradilan ad hoc pemilihan.
Kelima, diperlukan keakuratan jumlah dan sebaran mata pilih pada suatu daerah. Jumlah pemilih dan harus credible dan up to date. Hendaknya carut marut Daftar Pemilih Tetap (DPT) seperti pemilu 2009 lalu tidak terulang. Untuk itu perlu penegasan tentang siapa yang bertanggung jawab atas urusan ini, apakah KPU/KPUD ataukah Pemerintah Pusat/daerah. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan pihak terkait dalam hal perbaikan sistim administrasi kependudukan dan catatan sipil.
Wacana mengubah pemilihan gubernur langsung dengan pemilihan gubernur yang dipilih oleh anggota legislative provinsi sesungguhnya penistaan terhadap esensi demokrasi dan semangat otonomi daerah. Karena mengabaikan kedaulatan rakyat, dan menghilangkan unsure-unsur kebersamaan dan kebebasan dalam kehidupan berdemokrasi, mengakibatkan legitimasi gubernur sebagai kepala daerah pun diragukan, sehingga proses pelayanan kepada masyarakat, pembangunan di daerah dan pendewasaan demokrasi di daerah menjadi terhambat.
Selanjutnya, sistim pemilu dan kepartaian di Indonesia belum berjalan dengan baik, belum menghasilkan anggota dewan yang memiliki kapabilitas. Partai politik melalui anggota dewan belum berjalan sesuai yang diharapkan mewakili kepentingan orang banyak. Sehingga mempercayakan kepada anggota DPRD Provinsi untuk memilih gubernur adalah tindakan yang mendustai semangat otonomi daerah.
Sistim pemilihan kepala daerah secara langsung harus terus diperbaiki demi tercapainya tujuan otonomi daerah sehingga menghasilkan gubernur atau kepala daerah yang memiliki kapabilitas dan kepercayaan masyarakat dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan di daerah.
Berdasarkan analisis di atas wacana untuk merubah sistim pemilihan gubernur tidak dapat diterima secara aturan perundang-undangan, prinsip-prinsip demokrasi dan semangat otonimi daerah. Demikian hendaknya tulisan ini dapat mengilhami perlu atau tidaknya pemilihan gubernur oleh anggota DPRD provinsi, dan bentuk pemilihan gubernur langsung oleh masyarakat setempat adalah bentuk yang paling ideal saat ini.
Tuntutan akan perlunya pemilihan gubernur langsung merupakan paket energi untuk perkembangan demokrasi dan pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai dasar pemikiran dari tulisan ini, adalah hal-hal utama yang memberikan pencerahan dan penekanan terhadap pentingnya sistim pemilihan kepala daerah baik gubernur, bupati ataupun walikota secara langsung sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi sebagai upaya mensukseskan pelaksanaan otonomi daerah dan kehidupan berdemokrasi di Indonesia.

PAK BEYE KOK KEBUN PAK JK DIPACUL?

JELANG PILKADA SURABAYA PARPOL DILANDA KEMELUT

SURABAYA--MI: Mendekati pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di Surabaya sejumlah partai poltik (parpol) di kota itu dilanda kemelut terkait dengan pencalonan wali kota yang akan diusung setiap parpol.

Kelemut antara lain terjadi di DPD Partai Demokrat Surabaya, menyusul keluarnya rekomendasi calon wali kota Arif Afandi yang dinilai melangkahi pengurus di tingkat ranting se-Surabaya.

Sebanyak 24 pimpinan anak cabang (PAC) Partai Demokrat se Surabaya memrotes keras keluarnya rekomendasi tersebut karena dianggap menyalahi prosedur organisasi. Mereka melakukan konsolidasi internal untuk membahas keluarnya rekomendasi itu, apalagi selama proses keluarnya rekomemndasi PAC Partai Demokrat tidak pernah dilibatkan.

Mereka menyayangkan sikap DPP Partai Demokrat yang mengeluarkan rekoembdasi sebelum proses penjaringan melalui paparan visi dan misi para calon wali kota digelar oleh DPC Partai Demokart Surabaya.

''Rekomendasi tersebut cacat hukum, 24 PAC akan menanyakan masalah itu ke DPD Partai Demokrat Jawa Timur, sebab selama ini suara PAC ditinggalkan,'' kata Sekretaris PAC Partai Demokrat Gayungan Surabaya Bambang Widiantoro, Senin (1/3).

Para PAC tersebut mengancam akan menggerahkan kadernya untuk memprotes surat rekomendasi tersebut. Mereka mendesak agar rekomendasi secepatnya diubah sebelum proses pendaftaran calon wali kota dibuka oleh KPU Surabaya.

Sebelumnya DPP Partai Demokrat akhirnya mengeluarkan rekomendasi atas nama Arif Afandi sebagai calon wali kota Surabaya. Surat rekomendasi telah dikirim ke DPC Partai Demokrat Surabaya untuk disosialisasikan.

Di tubuh DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Surabaya juga dilanda masalah. Pada senin sebanyak 22 PAC PDIP berangkat ke Jakarta untuk mendesak DPP agar rekomendasi bakal calon wali kota Surabaya dijatuhkan kepada pasangan Saleh Ismail Mukadar-Bambang DH.

Jika desakan gagal, 22 PAC beserta keluarganya mengancam tidak menggunakan hak pilih mereka di Pilkada Surabaya. Demikian Ketua PAC Semampir Sri Hono Yularko sekaligus koordinator lapangan dalam siaran pers tentang Aspirasi PDIP Kota Surabaya.

Sri menegaskan, pengurus cabang sampai ranting jumlahnya mencapai 1.500 orang. Kalau ditambah dengan keluargaa bisa mencapai puluhan ribu. ''Ancaman ini akan dilaksanakan kalau memang rekomendasi bukan untuk kader. Padahal kita sebagai kader hanya berpatokan pada hasil Rakercabsus 11 Oktober 2009 sesuai SK DPP PDIP Nomor 205 yang memutuskan Saleh dan Bambang maju,'' katanya.(FL/OL-01)